Rabu, 10 Agustus 2011

SURAT SUSTER ETIK

Oleh : Margita Widiyatmaka

Pro :
         Mas Herman Bermata
                                                  Bagaimana kabar anda?, baik-baik 'kan, syukur
                                                  dah, kalau begitu!. Maaf ya Mas, saya lancang
                                                  mengirimkan surat ini pada Mas Her tanpa
                                                  persetujuan Mas terlebih dahulu. Suster ingin
                                                  bertanya, "Kapan periksa gigi lagi?".
                                                  Disamping itu, tolong ya ... Mas, bila Mas ada
                                                  waktu, carikan pasien buat saya!
                                                  Maaf ya Mas, bila kata-kata Suster tidak sopan
                                                 dan berkenan di hati Mas!

                                                         Suster yang pernah ketemu anda di jalan!


                                                                                                                  ETIK.

      Sementara malam semakin larut, aku masih mengulang-ulang membaca surat itu. Surat yang tertuang pada sebuah lemabaran kertas 'block-note' bergaris, ukuran 20 cm x 14 cm itu membuatku pusing tujuh keliling, hanya untuk sekedar mengingat-ingat wajah pemiliknya yang bernama Etik. Kukira nama itu sebuah nama panggilan, dan bukan merupakan nama lengkap atau sebenarnya. Setelah beberapa kata petunjukkupikir-pikir dan kurenungkan isi surat itu beberapa saat, baru aku temukan beberapa kata petunjuk yang dapat  dipakai untuk melacak Suster Etik.
      Ketika ia katakan, "Kapan periksa   gigi lagi?", ini menunjukkan bahwa pertama kali aku bertemu tentu di tempat perawatan/pemeriksaan gigi. Ketika ia memohon kesediaanku, bila ada waktu, untuk mencarikan pasien buatnya, tentu dia juga sedang butuh pasien yang akan  digunakan sebagai obyek praktek. Sangat mungkin dia itu siswa tingkat akhir pada sebuah sekolah atau pendidikan spesialis gigi. Akhirnya, aku terkesan pada ekor dari surat yang berbunyi : "Suster yang pernah ketemu anda di jalan". Ketemu?, Oh, sungguh aku pun ingin ketemu lagi, dan tidak ingin meleset atau salah temu membayangkan, atau mungkin menemukannya pada suatu ketika!.
         Oh, ya, aku baru ingat sekarang bahwa Suster Etik pernah tersenyum ramah kepadaku, lalu berbicara panjang-lebar tentang gigiku, ketika aku sedang diperiksa oleh Suster Nyoman di Klinik SPRG (Sekolah Pendidikan Rawat Gigi) Yogyakarta 3 (tiga) bulan yang lalu. Sikap yang demikian itu kuanggap wajar, apalagi dikaitkan dengan profesinya sebagai calon perawat gigi. Akan tetapi, setelah surat itu tiba kepadaku, anggapanku tidak hanya sekedar itu saja!. Tentu, masih ada makna dan tujuannya yang bersifat pribadi.
       Waktu itu ada 3 (tiga) suster yang menangani perawatan gigiku, termasuk Suster Etik barangkali. Aku  berusaha mengenal sosok dan nama ketiga gadis/suster itu secara sekilas, baik dari mendengar secara kebetulan melalui adik-adik atau teman-teman kelas mereka, maupun langsung melihat penampilan  masing-masing gadis itu di tempat praktek.
      Diantara ketiga suster itu, Suster Nyomanlah yang telah kukenal betul. Suster inilah yang merupakan penanggung jawab perawatan gigiku. Aku adalah pasien Suster Nyoman, sementara suster-suster yang lain ikut membantunya. Adapun pengawas, sekaligus penasehat utamanya, adalah direktur sekolah (seorang dokter gigi). Suster Nyoman tergolong cerdas dan terampil dalam menangani setiap pasiennya. Tidaklah mengherankan apabila Sus Nyoman disegani, dan dijadikan pusat bertanya oleh teman-temannya dalam hal penanganan psien rawat gigi.
      Suster kedua yang aku bayangkan bernama Reni. Aku mengingat-ingat nama ini dengan memperhatikan sosoknya yang sintal, tinggi badannya sekitar 158 cm, dan busananya santai (model kaos baju dan jeans) jika sedang tidak praktek/tugas. Geraknya yang lincah, dan cara bicaranya yang ceplas-ceplos, baik kepada teman-temannya maupun para pasiennya, merupakan ciri khasnya. Aku ingat, ketika Reni menanyakan pekerjaan atau kuliahku, lalu kujawab "nganggur", ia masih mengejar terus sampai mendapatkan jawaban yang jujur.
      Lain dari kedua sosok suster yang telah tersebut di atas, sangat mungkin sosok Sus Etik yang tengah kubayangkan. Barangkali dialah yang paling sering membantu Sus Nyoman dalam mengebor kedua gigi gerahamku. Dia juga aktif membantu mempersiapkan bahan-bahan/zat-zat penambal gigiku. Seingat saya, dia adalah sosok seorang gadis yang polos dan tanpa tingkah yang macem-macem, termasuSus Reni yang senantiasa irit dalam menggunakan lipstick, maupun olesan komestik lainnya. Sus Etik tentu tidak selincah dan seberani Sus Reni  yang senantiasa disempatkan untuk berbincang-bincang denganpara pasiennya. Sus Etik bukan pula gadis macem Nyoman yang sering cemberut apabila menghadapi jumlah pasien yang lebih banyak daripada biasanya.
      Kata-kata 'ketemu' pun terus-menerus mengejar keingintahuanku. Baru kemudian aku ingat bahwa aku pernah 'ketemu' (berjumpa) dengan Sus Etik Jalan HOS Cokroaminoto (Kuncen) Yogya sebulan yang lalu. Waktu itu aku baru saja mengantarakan sekolah adikku ke SMA I. Saat itu aku sedang di tengah jalan, dan dia persis berada di umulut gang hendak menyeberang ke Pasar Kuncen, serentak pula kami saling menyapa "Hai" hampir bersamaan, hingga kami hentikan kendaraan roda dua masing-masing. Kami langsung minggir, dan berbincang-bincang sejenak. Begitu singkatnya pertemuan itu, karena adanya urusan masing-masing. Namun begitu panjangnya bayangan-bayangan Sus Etik yang terlukis dalam benakku. Jabat tangannya masih kurasakan halus, dan lembut, seperti kejadian baru kemarin saja adanya.
      Dalam kesendirianku di kamar bola, pikiranku menghendaki untuk mengidentifikasikan Sus Etik tersebut lebih jauh daripada gadis-gadis yang pernah kukenal dekat denganku. Cara bicaranya yang lembut, tidak "ngotot", tetapi mudah dipahami gaya Yogya. Kulit tubuhnya sawo matang, halus, dan sedikit bulu tidur yang menghiasinya. Melihat penampilan dan tutur katanya, aku kira ia seorang gadis Jawa yang berasal dari keluarga menengah ke atas yang harmonis. Dari raut wajahnya sangat mungkin ia seusiaku. Kalau toh lebih tua atau muda, kukira hanya selang satu sampai tiga tahun.
      Sementara aku disini masih  sulit tidur, bunyi detak jam dinding disebelah kamarku masih jelas terdengar. Detak-detaknya mendorongku untuk mengambil air wudlu. Pikirku, jika aku masih pegang erat-erat surat itu, dan belum sembahyang dengan tenang, penuh kekhusukan, barangkali tidurku tak akan bisa lepas dari jeratan bayangan diri Sus Etik.

Yogyakarta, 1987.

Minggu, 07 Agustus 2011

KASUS SI AMIR

Oleh : Margita Widiyatmaka

     Sial benar nasib Si Amir bin Abdul Maman!. Sejak ia lahir, hatinya sudah diiris-iris oleh kata-kata. Kata-kata dahsyat memburunya. "Dar, dar, dar!", hingga pada usia 3 (tiga) tahun ia mandi darah. Ya, mandi darah!. Darah kental bercampur nanah mengalir ke seluruh permukaan tubuhnya dari telinga kanan maupun kirinya!. Ia menjadi tidak berdaya, bahkan raganya sudah masuk daftar layak ditarik ke langit biru kerudung mori!. Tetapi, Yang Maha Tinngi ternyata masih memberi kesempatan kepadanya untuk menikmati hidup ini dalam kesakitan. Kepalanya terasa sakit berat, menahan beban pusing tujuh keliling dan rasa sakit yang menggigit!. Ingin rasanya ia akhiri hidupnya dengan "harakiri"!. Tapi, apa daya tangannya belum mampu memegang "samurai" ayahnya. Ia hanya mampu terengah-engah, hidup setengah dan mati pun setengah. Ia hanya hidup dari getaran cahaya kilat yang menyambar-nyambar di langit gelap.

      Dua puluh lima tahun kemudian, ia menginjak dewasa. Kedewasaannya boleh dikatakan terlambat menurut ukuran manusia bermartabat. Raganya berangsur-angsur pulih kembali. Bahkan, kalau kita lihat dari postur tubuhnya, ia telah berubah menjadi "Rambo", atau lebih tepatnya "Rambo Jawa". Semua itu berkat ketekunan, keuletan, dan kegigihannya dalam berolah tubuh : push-up, lari pagi, renang, dan ikut aktif bela diri "Kesetiaan Hati". Tetapi, mata jiwanya masih saja belum sembuh dan normal sebagai manusia yang wajar adanya. Untuk dapat menikmati tidur nyenyak, ia harus belajar tenang dan konsentrasi. Dalam tidurnya, sering ia bertemu dengan almarahum kakeknya-beliau-Eyang Wijaya. Rambut beliau yang sudah memutih digelung di atas kepala bagian belakang, mirip seorang pendekar dalam cerita komik. Dalam pertemuannya dengan Eyang Wijaya dibicarakan pula tentang penyakit mata jiwanya, serta bagaimana  agar penyakit itu bisa disembuhkan. Beliau menyarankan kepada Si Amir untuk menemui Dokter Chechev, spesialis mata jiwa, yang bisa membuat segala pandangan dam pikiran lebih terang dan gamblang mencernanya.
       Setelah dirasa-rasakan, direnung-renungkan, dan dipikirkan lebih dalam, lalu ia berketetapan hati nuntuk mencari dan menemui Sang Dokter sesegera mungkin. Di manakah gerangan Sang Penyembuh Ampuh berada? Menurut berita suratkabar-suratkabar yang ia baca, konon kabarnya Sang Dokter ada di suatu negara besar, Beruang Merah namanya.
      Pada hari H yang telah ditetapkan sebagai hari yang palng aman, dan baik menurut perhitungan paranormal dari Gunung Sewu, berangkatlah ia menuju ke sana dengan naik "Garuda". Tanpa sanak-saudara, tetangga, maupum kawan dari desa menyertai kepergiannya. Tapi ia merasa senang dan berbahagia!. Ia tidak pernah merasa kesepiam karena senantiasa ditemani oleh pramugari-pramugari cantik nan manis, bidadari dari Kahyangan. Sesampai di Bandara Pusat Negara, ia disambut oleh para malaikat yang tampan, santun, tegap, lagio punya rasa hormat. Dengan kendaraan BMW, Amir diantar oleh sebanya 7 (tujuh) malaikat ke tempayt praktek Dokter Chechev. Ah, kenapa harus sebanyak itu yang mengantarkannya?. Barangkali ini dimaksudkan untuk menjaga keselamatannya. Yah, mengingat siotuasi di sana pada saat ini baru rawan; baik mengenai politik, ekonomi, sosial, budaya, dan segala aspeknyang sedang bergulir cepat mengejar perubahan. Apalagi ditamabah dengan datangnya musim dingin yang mencekam!. Mereka baru saja bangkit dan suklit dikendalikan keinginan masing-masing warga atau negara bagiannya. Tapi, kenapa ulah mereka berubah begitu cepat?. Konon kabarnya ini terjadi berkat karunia Tuhan, lewat suntikan suntikan pembaharuan dan keterbukaan. Dokter Chechev sendirilah yang menyuntik mereka dengan cairan "prestroika" dan "glassnot"!. Tapi sayang, beliau lupa memberikan obat jalan. Mereka haus, haus, haus! Mereka minum sebanyak-banyaknya anggur, anggur, anggur kebebasan!. Mereka mata gelap!, Yang mereka inginkan secepat-cepatnya adalah kebebasan dan juga sebuah negeri yang terang, tanpa ada mega mendung kelabu menyelimutinya. Dampaknya, di seluruh negeri bagian dipancangkkan bendera kebebasan dan spanduk bertuliskan sama "Terus Terang Negeri Terang Terus". Didalam benak Si Amir terpikir iklan Phillips, "Terus Terang Phillips Terang Terus". Herannya, sesampai di rumah praktek Dokter Chechev juga masih ia temukan tulisan dengan nada begitu.
        "Alhamdulillah, tulisan itu mendekatkan harapanku pada kenyataan!", kata Amir dalam batin. Dengan keyakinannya, yakin 'ainul yakin dan yakin haqul yakin, ia mulai mencari Dokter Chechev, ia berjalan dari ruang ke ruang, dari pintu ke pintu, sampai mentok ke jalan-jalan buntu, tetapi tak ia temukan keberadaan Sang Dokter. Bahkan seorang perawat, pembantu, maupun anggota keluarganya pun tak ia temukan!. Malu rasanya ia bertanya kepada malaikat-malaikat yeng berada di luar gedung!. Gensi dong! (manusia 'kan lebih  terhormat daripada mereka?). Tiba-tiba ia tersentak dan terpesona melihat sebuah menara kuno di bagian belakang rumah praktek Sang Dokter. Menara yang kokoh mencuat ke atas itu meruncing bak Candi Prambanan. Penasaran untuk melihat bagian dalamnya, ia mencoba masuk, dan naik melalui tangga-tangga berubin marmer hitam mengkilat. Tangga-tangga itu meliuk-liuk--bagaikan naga--menuju puncaknya. Setapak demi setapak, selangkah demi selangkah, Amir bergerak menuju puncak. Sampai langjah yang ke-101 (seratus satu), tepat di bawah kerucut menara, betapa kagetnya Si Amir!. Karena di tempat itu (persis di tengah-tengah) ia jumpai Sang Dokter dalam posisi "Yoga". duduk bersila, kedua telapak tangannya menyatu mengapit pisau operasi. Pakaiannya masih putih bersih lengkap dengan nama di bagian dada kirinya Begitu marasa kedatangan sosok manusia, Dokter langsung menyayat mata jiwanya sendiri melalui dadanya yang merah darah. Menurut Sang Dokter, ini merupakan bagian dari rasa pengorbanan dan ketetapan hatinya untuk mengabdi pada bumi pertiwi. Hasil sayatannya itu kemudian diberikan kepada Amir. Kemudian Sang Dokter meminta kepada Amir untuk mengikuti setiap petunjuknya.
       "Genggam!", kata Sang Dokter.
Lau digenggamlah sayatan itu, dan sirnalah seketika Dokter Chechev lewat pucuk menara, dan teranglah dunia Si Amir!.

Gunungkidul, Desember 1991.