Pro :
Mas Herman Bermata
Bagaimana kabar anda?, baik-baik 'kan, syukur
dah, kalau begitu!. Maaf ya Mas, saya lancang
mengirimkan surat ini pada Mas Her tanpa
persetujuan Mas terlebih dahulu. Suster ingin
bertanya, "Kapan periksa gigi lagi?".
Disamping itu, tolong ya ... Mas, bila Mas ada
waktu, carikan pasien buat saya!
Maaf ya Mas, bila kata-kata Suster tidak sopan
dan berkenan di hati Mas!
Suster yang pernah ketemu anda di jalan!
ETIK.
Sementara malam semakin larut, aku masih mengulang-ulang membaca surat itu. Surat yang tertuang pada sebuah lemabaran kertas 'block-note' bergaris, ukuran 20 cm x 14 cm itu membuatku pusing tujuh keliling, hanya untuk sekedar mengingat-ingat wajah pemiliknya yang bernama Etik. Kukira nama itu sebuah nama panggilan, dan bukan merupakan nama lengkap atau sebenarnya. Setelah beberapa kata petunjukkupikir-pikir dan kurenungkan isi surat itu beberapa saat, baru aku temukan beberapa kata petunjuk yang dapat dipakai untuk melacak Suster Etik.
Ketika ia katakan, "Kapan periksa gigi lagi?", ini menunjukkan bahwa pertama kali aku bertemu tentu di tempat perawatan/pemeriksaan gigi. Ketika ia memohon kesediaanku, bila ada waktu, untuk mencarikan pasien buatnya, tentu dia juga sedang butuh pasien yang akan digunakan sebagai obyek praktek. Sangat mungkin dia itu siswa tingkat akhir pada sebuah sekolah atau pendidikan spesialis gigi. Akhirnya, aku terkesan pada ekor dari surat yang berbunyi : "Suster yang pernah ketemu anda di jalan". Ketemu?, Oh, sungguh aku pun ingin ketemu lagi, dan tidak ingin meleset atau salah temu membayangkan, atau mungkin menemukannya pada suatu ketika!.
Oh, ya, aku baru ingat sekarang bahwa Suster Etik pernah tersenyum ramah kepadaku, lalu berbicara panjang-lebar tentang gigiku, ketika aku sedang diperiksa oleh Suster Nyoman di Klinik SPRG (Sekolah Pendidikan Rawat Gigi) Yogyakarta 3 (tiga) bulan yang lalu. Sikap yang demikian itu kuanggap wajar, apalagi dikaitkan dengan profesinya sebagai calon perawat gigi. Akan tetapi, setelah surat itu tiba kepadaku, anggapanku tidak hanya sekedar itu saja!. Tentu, masih ada makna dan tujuannya yang bersifat pribadi.
Waktu itu ada 3 (tiga) suster yang menangani perawatan gigiku, termasuk Suster Etik barangkali. Aku berusaha mengenal sosok dan nama ketiga gadis/suster itu secara sekilas, baik dari mendengar secara kebetulan melalui adik-adik atau teman-teman kelas mereka, maupun langsung melihat penampilan masing-masing gadis itu di tempat praktek.
Diantara ketiga suster itu, Suster Nyomanlah yang telah kukenal betul. Suster inilah yang merupakan penanggung jawab perawatan gigiku. Aku adalah pasien Suster Nyoman, sementara suster-suster yang lain ikut membantunya. Adapun pengawas, sekaligus penasehat utamanya, adalah direktur sekolah (seorang dokter gigi). Suster Nyoman tergolong cerdas dan terampil dalam menangani setiap pasiennya. Tidaklah mengherankan apabila Sus Nyoman disegani, dan dijadikan pusat bertanya oleh teman-temannya dalam hal penanganan psien rawat gigi.
Suster kedua yang aku bayangkan bernama Reni. Aku mengingat-ingat nama ini dengan memperhatikan sosoknya yang sintal, tinggi badannya sekitar 158 cm, dan busananya santai (model kaos baju dan jeans) jika sedang tidak praktek/tugas. Geraknya yang lincah, dan cara bicaranya yang ceplas-ceplos, baik kepada teman-temannya maupun para pasiennya, merupakan ciri khasnya. Aku ingat, ketika Reni menanyakan pekerjaan atau kuliahku, lalu kujawab "nganggur", ia masih mengejar terus sampai mendapatkan jawaban yang jujur.
Lain dari kedua sosok suster yang telah tersebut di atas, sangat mungkin sosok Sus Etik yang tengah kubayangkan. Barangkali dialah yang paling sering membantu Sus Nyoman dalam mengebor kedua gigi gerahamku. Dia juga aktif membantu mempersiapkan bahan-bahan/zat-zat penambal gigiku. Seingat saya, dia adalah sosok seorang gadis yang polos dan tanpa tingkah yang macem-macem, termasuSus Reni yang senantiasa irit dalam menggunakan lipstick, maupun olesan komestik lainnya. Sus Etik tentu tidak selincah dan seberani Sus Reni yang senantiasa disempatkan untuk berbincang-bincang denganpara pasiennya. Sus Etik bukan pula gadis macem Nyoman yang sering cemberut apabila menghadapi jumlah pasien yang lebih banyak daripada biasanya.
Kata-kata 'ketemu' pun terus-menerus mengejar keingintahuanku. Baru kemudian aku ingat bahwa aku pernah 'ketemu' (berjumpa) dengan Sus Etik Jalan HOS Cokroaminoto (Kuncen) Yogya sebulan yang lalu. Waktu itu aku baru saja mengantarakan sekolah adikku ke SMA I. Saat itu aku sedang di tengah jalan, dan dia persis berada di umulut gang hendak menyeberang ke Pasar Kuncen, serentak pula kami saling menyapa "Hai" hampir bersamaan, hingga kami hentikan kendaraan roda dua masing-masing. Kami langsung minggir, dan berbincang-bincang sejenak. Begitu singkatnya pertemuan itu, karena adanya urusan masing-masing. Namun begitu panjangnya bayangan-bayangan Sus Etik yang terlukis dalam benakku. Jabat tangannya masih kurasakan halus, dan lembut, seperti kejadian baru kemarin saja adanya.
Dalam kesendirianku di kamar bola, pikiranku menghendaki untuk mengidentifikasikan Sus Etik tersebut lebih jauh daripada gadis-gadis yang pernah kukenal dekat denganku. Cara bicaranya yang lembut, tidak "ngotot", tetapi mudah dipahami gaya Yogya. Kulit tubuhnya sawo matang, halus, dan sedikit bulu tidur yang menghiasinya. Melihat penampilan dan tutur katanya, aku kira ia seorang gadis Jawa yang berasal dari keluarga menengah ke atas yang harmonis. Dari raut wajahnya sangat mungkin ia seusiaku. Kalau toh lebih tua atau muda, kukira hanya selang satu sampai tiga tahun.
Sementara aku disini masih sulit tidur, bunyi detak jam dinding disebelah kamarku masih jelas terdengar. Detak-detaknya mendorongku untuk mengambil air wudlu. Pikirku, jika aku masih pegang erat-erat surat itu, dan belum sembahyang dengan tenang, penuh kekhusukan, barangkali tidurku tak akan bisa lepas dari jeratan bayangan diri Sus Etik.
Yogyakarta, 1987.
Ketika ia katakan, "Kapan periksa gigi lagi?", ini menunjukkan bahwa pertama kali aku bertemu tentu di tempat perawatan/pemeriksaan gigi. Ketika ia memohon kesediaanku, bila ada waktu, untuk mencarikan pasien buatnya, tentu dia juga sedang butuh pasien yang akan digunakan sebagai obyek praktek. Sangat mungkin dia itu siswa tingkat akhir pada sebuah sekolah atau pendidikan spesialis gigi. Akhirnya, aku terkesan pada ekor dari surat yang berbunyi : "Suster yang pernah ketemu anda di jalan". Ketemu?, Oh, sungguh aku pun ingin ketemu lagi, dan tidak ingin meleset atau salah temu membayangkan, atau mungkin menemukannya pada suatu ketika!.
Oh, ya, aku baru ingat sekarang bahwa Suster Etik pernah tersenyum ramah kepadaku, lalu berbicara panjang-lebar tentang gigiku, ketika aku sedang diperiksa oleh Suster Nyoman di Klinik SPRG (Sekolah Pendidikan Rawat Gigi) Yogyakarta 3 (tiga) bulan yang lalu. Sikap yang demikian itu kuanggap wajar, apalagi dikaitkan dengan profesinya sebagai calon perawat gigi. Akan tetapi, setelah surat itu tiba kepadaku, anggapanku tidak hanya sekedar itu saja!. Tentu, masih ada makna dan tujuannya yang bersifat pribadi.
Waktu itu ada 3 (tiga) suster yang menangani perawatan gigiku, termasuk Suster Etik barangkali. Aku berusaha mengenal sosok dan nama ketiga gadis/suster itu secara sekilas, baik dari mendengar secara kebetulan melalui adik-adik atau teman-teman kelas mereka, maupun langsung melihat penampilan masing-masing gadis itu di tempat praktek.
Diantara ketiga suster itu, Suster Nyomanlah yang telah kukenal betul. Suster inilah yang merupakan penanggung jawab perawatan gigiku. Aku adalah pasien Suster Nyoman, sementara suster-suster yang lain ikut membantunya. Adapun pengawas, sekaligus penasehat utamanya, adalah direktur sekolah (seorang dokter gigi). Suster Nyoman tergolong cerdas dan terampil dalam menangani setiap pasiennya. Tidaklah mengherankan apabila Sus Nyoman disegani, dan dijadikan pusat bertanya oleh teman-temannya dalam hal penanganan psien rawat gigi.
Suster kedua yang aku bayangkan bernama Reni. Aku mengingat-ingat nama ini dengan memperhatikan sosoknya yang sintal, tinggi badannya sekitar 158 cm, dan busananya santai (model kaos baju dan jeans) jika sedang tidak praktek/tugas. Geraknya yang lincah, dan cara bicaranya yang ceplas-ceplos, baik kepada teman-temannya maupun para pasiennya, merupakan ciri khasnya. Aku ingat, ketika Reni menanyakan pekerjaan atau kuliahku, lalu kujawab "nganggur", ia masih mengejar terus sampai mendapatkan jawaban yang jujur.
Lain dari kedua sosok suster yang telah tersebut di atas, sangat mungkin sosok Sus Etik yang tengah kubayangkan. Barangkali dialah yang paling sering membantu Sus Nyoman dalam mengebor kedua gigi gerahamku. Dia juga aktif membantu mempersiapkan bahan-bahan/zat-zat penambal gigiku. Seingat saya, dia adalah sosok seorang gadis yang polos dan tanpa tingkah yang macem-macem, termasuSus Reni yang senantiasa irit dalam menggunakan lipstick, maupun olesan komestik lainnya. Sus Etik tentu tidak selincah dan seberani Sus Reni yang senantiasa disempatkan untuk berbincang-bincang denganpara pasiennya. Sus Etik bukan pula gadis macem Nyoman yang sering cemberut apabila menghadapi jumlah pasien yang lebih banyak daripada biasanya.
Kata-kata 'ketemu' pun terus-menerus mengejar keingintahuanku. Baru kemudian aku ingat bahwa aku pernah 'ketemu' (berjumpa) dengan Sus Etik Jalan HOS Cokroaminoto (Kuncen) Yogya sebulan yang lalu. Waktu itu aku baru saja mengantarakan sekolah adikku ke SMA I. Saat itu aku sedang di tengah jalan, dan dia persis berada di umulut gang hendak menyeberang ke Pasar Kuncen, serentak pula kami saling menyapa "Hai" hampir bersamaan, hingga kami hentikan kendaraan roda dua masing-masing. Kami langsung minggir, dan berbincang-bincang sejenak. Begitu singkatnya pertemuan itu, karena adanya urusan masing-masing. Namun begitu panjangnya bayangan-bayangan Sus Etik yang terlukis dalam benakku. Jabat tangannya masih kurasakan halus, dan lembut, seperti kejadian baru kemarin saja adanya.
Dalam kesendirianku di kamar bola, pikiranku menghendaki untuk mengidentifikasikan Sus Etik tersebut lebih jauh daripada gadis-gadis yang pernah kukenal dekat denganku. Cara bicaranya yang lembut, tidak "ngotot", tetapi mudah dipahami gaya Yogya. Kulit tubuhnya sawo matang, halus, dan sedikit bulu tidur yang menghiasinya. Melihat penampilan dan tutur katanya, aku kira ia seorang gadis Jawa yang berasal dari keluarga menengah ke atas yang harmonis. Dari raut wajahnya sangat mungkin ia seusiaku. Kalau toh lebih tua atau muda, kukira hanya selang satu sampai tiga tahun.
Sementara aku disini masih sulit tidur, bunyi detak jam dinding disebelah kamarku masih jelas terdengar. Detak-detaknya mendorongku untuk mengambil air wudlu. Pikirku, jika aku masih pegang erat-erat surat itu, dan belum sembahyang dengan tenang, penuh kekhusukan, barangkali tidurku tak akan bisa lepas dari jeratan bayangan diri Sus Etik.
Yogyakarta, 1987.