Minggu, 07 Agustus 2011

KASUS SI AMIR

Oleh : Margita Widiyatmaka

     Sial benar nasib Si Amir bin Abdul Maman!. Sejak ia lahir, hatinya sudah diiris-iris oleh kata-kata. Kata-kata dahsyat memburunya. "Dar, dar, dar!", hingga pada usia 3 (tiga) tahun ia mandi darah. Ya, mandi darah!. Darah kental bercampur nanah mengalir ke seluruh permukaan tubuhnya dari telinga kanan maupun kirinya!. Ia menjadi tidak berdaya, bahkan raganya sudah masuk daftar layak ditarik ke langit biru kerudung mori!. Tetapi, Yang Maha Tinngi ternyata masih memberi kesempatan kepadanya untuk menikmati hidup ini dalam kesakitan. Kepalanya terasa sakit berat, menahan beban pusing tujuh keliling dan rasa sakit yang menggigit!. Ingin rasanya ia akhiri hidupnya dengan "harakiri"!. Tapi, apa daya tangannya belum mampu memegang "samurai" ayahnya. Ia hanya mampu terengah-engah, hidup setengah dan mati pun setengah. Ia hanya hidup dari getaran cahaya kilat yang menyambar-nyambar di langit gelap.

      Dua puluh lima tahun kemudian, ia menginjak dewasa. Kedewasaannya boleh dikatakan terlambat menurut ukuran manusia bermartabat. Raganya berangsur-angsur pulih kembali. Bahkan, kalau kita lihat dari postur tubuhnya, ia telah berubah menjadi "Rambo", atau lebih tepatnya "Rambo Jawa". Semua itu berkat ketekunan, keuletan, dan kegigihannya dalam berolah tubuh : push-up, lari pagi, renang, dan ikut aktif bela diri "Kesetiaan Hati". Tetapi, mata jiwanya masih saja belum sembuh dan normal sebagai manusia yang wajar adanya. Untuk dapat menikmati tidur nyenyak, ia harus belajar tenang dan konsentrasi. Dalam tidurnya, sering ia bertemu dengan almarahum kakeknya-beliau-Eyang Wijaya. Rambut beliau yang sudah memutih digelung di atas kepala bagian belakang, mirip seorang pendekar dalam cerita komik. Dalam pertemuannya dengan Eyang Wijaya dibicarakan pula tentang penyakit mata jiwanya, serta bagaimana  agar penyakit itu bisa disembuhkan. Beliau menyarankan kepada Si Amir untuk menemui Dokter Chechev, spesialis mata jiwa, yang bisa membuat segala pandangan dam pikiran lebih terang dan gamblang mencernanya.
       Setelah dirasa-rasakan, direnung-renungkan, dan dipikirkan lebih dalam, lalu ia berketetapan hati nuntuk mencari dan menemui Sang Dokter sesegera mungkin. Di manakah gerangan Sang Penyembuh Ampuh berada? Menurut berita suratkabar-suratkabar yang ia baca, konon kabarnya Sang Dokter ada di suatu negara besar, Beruang Merah namanya.
      Pada hari H yang telah ditetapkan sebagai hari yang palng aman, dan baik menurut perhitungan paranormal dari Gunung Sewu, berangkatlah ia menuju ke sana dengan naik "Garuda". Tanpa sanak-saudara, tetangga, maupum kawan dari desa menyertai kepergiannya. Tapi ia merasa senang dan berbahagia!. Ia tidak pernah merasa kesepiam karena senantiasa ditemani oleh pramugari-pramugari cantik nan manis, bidadari dari Kahyangan. Sesampai di Bandara Pusat Negara, ia disambut oleh para malaikat yang tampan, santun, tegap, lagio punya rasa hormat. Dengan kendaraan BMW, Amir diantar oleh sebanya 7 (tujuh) malaikat ke tempayt praktek Dokter Chechev. Ah, kenapa harus sebanyak itu yang mengantarkannya?. Barangkali ini dimaksudkan untuk menjaga keselamatannya. Yah, mengingat siotuasi di sana pada saat ini baru rawan; baik mengenai politik, ekonomi, sosial, budaya, dan segala aspeknyang sedang bergulir cepat mengejar perubahan. Apalagi ditamabah dengan datangnya musim dingin yang mencekam!. Mereka baru saja bangkit dan suklit dikendalikan keinginan masing-masing warga atau negara bagiannya. Tapi, kenapa ulah mereka berubah begitu cepat?. Konon kabarnya ini terjadi berkat karunia Tuhan, lewat suntikan suntikan pembaharuan dan keterbukaan. Dokter Chechev sendirilah yang menyuntik mereka dengan cairan "prestroika" dan "glassnot"!. Tapi sayang, beliau lupa memberikan obat jalan. Mereka haus, haus, haus! Mereka minum sebanyak-banyaknya anggur, anggur, anggur kebebasan!. Mereka mata gelap!, Yang mereka inginkan secepat-cepatnya adalah kebebasan dan juga sebuah negeri yang terang, tanpa ada mega mendung kelabu menyelimutinya. Dampaknya, di seluruh negeri bagian dipancangkkan bendera kebebasan dan spanduk bertuliskan sama "Terus Terang Negeri Terang Terus". Didalam benak Si Amir terpikir iklan Phillips, "Terus Terang Phillips Terang Terus". Herannya, sesampai di rumah praktek Dokter Chechev juga masih ia temukan tulisan dengan nada begitu.
        "Alhamdulillah, tulisan itu mendekatkan harapanku pada kenyataan!", kata Amir dalam batin. Dengan keyakinannya, yakin 'ainul yakin dan yakin haqul yakin, ia mulai mencari Dokter Chechev, ia berjalan dari ruang ke ruang, dari pintu ke pintu, sampai mentok ke jalan-jalan buntu, tetapi tak ia temukan keberadaan Sang Dokter. Bahkan seorang perawat, pembantu, maupun anggota keluarganya pun tak ia temukan!. Malu rasanya ia bertanya kepada malaikat-malaikat yeng berada di luar gedung!. Gensi dong! (manusia 'kan lebih  terhormat daripada mereka?). Tiba-tiba ia tersentak dan terpesona melihat sebuah menara kuno di bagian belakang rumah praktek Sang Dokter. Menara yang kokoh mencuat ke atas itu meruncing bak Candi Prambanan. Penasaran untuk melihat bagian dalamnya, ia mencoba masuk, dan naik melalui tangga-tangga berubin marmer hitam mengkilat. Tangga-tangga itu meliuk-liuk--bagaikan naga--menuju puncaknya. Setapak demi setapak, selangkah demi selangkah, Amir bergerak menuju puncak. Sampai langjah yang ke-101 (seratus satu), tepat di bawah kerucut menara, betapa kagetnya Si Amir!. Karena di tempat itu (persis di tengah-tengah) ia jumpai Sang Dokter dalam posisi "Yoga". duduk bersila, kedua telapak tangannya menyatu mengapit pisau operasi. Pakaiannya masih putih bersih lengkap dengan nama di bagian dada kirinya Begitu marasa kedatangan sosok manusia, Dokter langsung menyayat mata jiwanya sendiri melalui dadanya yang merah darah. Menurut Sang Dokter, ini merupakan bagian dari rasa pengorbanan dan ketetapan hatinya untuk mengabdi pada bumi pertiwi. Hasil sayatannya itu kemudian diberikan kepada Amir. Kemudian Sang Dokter meminta kepada Amir untuk mengikuti setiap petunjuknya.
       "Genggam!", kata Sang Dokter.
Lau digenggamlah sayatan itu, dan sirnalah seketika Dokter Chechev lewat pucuk menara, dan teranglah dunia Si Amir!.

Gunungkidul, Desember 1991.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar