Malam itu barangkali hanya aku yang melihat ketiak sebuah bintang yang lain daripada yang lain. Hanya sebuah bintang di antara jutaan bintang yang bertebaran di angkasa, yang ketiaknya lebih terbuka daripada ketiak bintang yang lain. Banyak orang tidak percaya--barangkali--bila aku ceritakan tentang bintang yng satu ini, mengingat ia berambut juga seperti kita. Hanya saja warna rambutnya kuning keemasan. Benar-benar rambut mahkota, kecil-kecil atau lembut, lebat sekali, indah, menjuntai berkilauan dalam keremangan malam di atas kota tua.
Dalam suasana hening, sekonyong-konyong aku dikejutkan oleh letusan keras sekali. Darrrrrrrrrrrrr ........................................................................... ... !
Saking kerasnya, jantungku hampir saja ambyar. Pyar ... pyar ... pyar ... !
Setelah melihat pagi bersinar, baru aku sadar. Sadar, sesadar-sadarnya! Pagi itu aku masih bernyanyi. Nyanyianku merdu mengandung mantra-mantra cinta abadi. Kepada Tuhan, tempat kubertahan dan mengabdi. Dari nyanyian itu mengalirlah bau belerang. Aku pun tertawa. Lahirku tertawa. Batinku tertawa. .......... ?????. Tapi aneh, pikiranku tak mampu tertawa, wa ... wa ... wa ... ! Haya, haya, haya! Aku kecewa dan bahgia!.
Yogyakarta, Maret 1990.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar